Minggu, 20 November 2011

SEJARAH KONTROVERSI PENULISAN HADITS


SEJARAH KONTROVERSI PENULISAN HADITS[1]
Oleh: Dewi Nuraeni

Abstrak

Fully realized by the Muslims that is the Hadith as a source of doctrine after al-Qur `an, so that the position of hadith for Muslims to be an important presence and serve as a way of life. However, conversations about the hadith is so crowded and attracts many people, especially in terms of historical travel writing is a lot of controversy hadith, meaning that talks about the writing is never devoid of controversy and contention discourse. In fact, the discourse on this codification has become a powerful weapon by orientalists and the inkar al-Sunna (a group that opposes the Sunnah) to discredit hadith or sunnah and suing its authenticity as a second source of Islamic law after the al-Qur `an. Disagreement among Muslims, as well as the criticisms of Orientalists, to dwell on the problems of writing and bookkeeping hadith validity when viewed from the aspect of normative considerations (read-words of the Apostle, atsar Companions, and Successors), until eventually lead to doubts about the authority of the Sunnah itself in large systems: Islamic Sharia.
Disadari betul oleh umat Islam bahwa hadits adalah sebagai sumber ajaran setelah al-Qur`an, sehingga posisi hadits bagi umat Islam menjadi penting adanya dan dijadikan sebagai pedoman hidup. Namun demikian perbincangan tentang hadits begitu ramai dan menarik banyak orang, terutama dalam hal perjalanan sejarah penulisan  hadist yang  banyak kontroversinya, artinya perbincangan tentang penulisan tersebut tidak pernah sepi dari kontroversi dan perseteruan wacana. Bahkan, wacana mengenai kodifikasi ini telah dijadikan senjata ampuh oleh orientalis dan para inkar al-sunnah (suatu kelompok yang menentang Sunnah)[2] untuk mendiskreditkan hadits atau sunnah serta menggugat otentisitasnya sebagai sumber  hukum Islam kedua setelah al-Qur`an. Pertentangan di kalangan umat Islam, demikian halnya yang menjadi kritik para orientalis, berkutat pada  persoalan keabsahan penulisan dan pembukuan hadits jika dilihat dari aspek pertimbangan normative (baca-sabda Rasul, Atsar shahabat, dan tabiin), hingga akhirnya bermuara  kepada keraguan terhadap otoritas sunnah itu sendiri dalam system besar:Syariat Islam.[3]



Pendahuluan
Umat Islam di mana pun menyadari arti penting Sunnah dalam system keagamaan mereka. Meskipun secara definisi, “Sunnah” adalah prilaku Nabi Muhammad Saw. secara keseluruhan, namun  dalam kenyataannya “sunnah” hampir identik dengan “hadits”,  yaitu “laporan” tentang perilaku Nabi Muhammad Saw. Itu. [4]
            Sejarah menunjukkan bahwa proses yang dibutuhkan dalam upaya pencatatan dan pengumpulan bahan laporan itu memakan  waktu yang cukup panjang, selama sekitar 200 tahun. Yakni sejak dari masa rintisan Muhammad bin Muslim bin Syihab al-Zuhri ( w. 124 H/742 M) hingga penyelesaian “ laporan” al-Nasa`i (w. 303 H/916 M), salah seorang tokoh “al-Kutub al-Sittah”.[5]Bahkan dalam perspektif lain, proses sejarah pencatatan dan pengumpulan sesungguhnya telah ada sejak masa Rasulullah Saw., bahkan dimulai dari masa Muhammad bin Muslim bin Syihab al-Zuhri (w. 124 H/742 M) sebagaimana yang diklaim banyak orang. Terlepas dari itu semua, setidaknya, hal ini menunjukkan bahwa perjalanan sejarah Hadits Nabi melewati masa yang cukup panjang dan berliku.[6]
            Di kalangan ulama pun  berbeda pendapat tentang penulisan hadits pada zaman Nabi Muhammad Saw. Pendapat pertama, menyatakan bahwa Nabi Muhammad Saw melarang para sahabat  menulis hadits, sebagaimana riwayat yang diterima dari Abu Sa`id al-Khudri, Abu Hurairah, dan Zaid bin Sabit yang tercantum dalam Taqyid al-`Ilm, karya Ibnu Abdul Barr. Pendapat kedua, disebutkan bahwa Nabi Muhammad Saw mengizinkan menulis hadits, sebagaimana riwayat tentang Abdullah bin Amr, Abu Syah, dan Ali bin Abi Talib.[7]
            Dengan adanya dua pendapat tersebut, maka ulama mencoba  membuat penyelesaiannya sebagai berikut. Pertama, larangan  menulis itu sudah dimansukh (dihapus) oleh keterangan yang membolehkannya. Kedua, larangan itu  hanya berlaku  jika penulisan hadits disatukan  dengan penulisan  al-Qur`an. Penulisan terpisah dapat saja dibenarkan. Namun, banyak ulama berpendapat bahwa keterangan yang membolehkan penulisan hadits lebih kuat atau rajah (unggul), sedangkan keterangan yang melarangnya bersifat marjuh (diungguli).[8]
            Perbedaan antara boleh dan tidak boleh menulis hadits menjadi telaah ulama sejak dahulu sampai sekarang, bahkan kaum orientalis pun membahasnya secara panjang lebar, sebagaimana dilakukan oleh Goldziher (ahli studi Islam). Menurut penelitiannya, ulama  yang melarang  penulisan hadits ialah kelompok ahlur ra`yi (kaum rasionalis), dan yang membolehkannya ahlul hadits (kaum tradisionalis). Menurut Muhammad Mustafa al-Azami (ahli hadits dan dosen Universitas Malik Sa`ud, Riyadh), kesimpulan analisis  Goldziher tersebut adalah keliru karena ulama  yang melarang dengan keras justru ahli hadits, seperti Ubaidah dan Ibnu Sirin, sedangkan  yang membolehkannya ialah fukuha, seperti Hammad bin Sulaiama, Muhammad bin  Syihab  az-Zuhri, al-A`masy, Abu hanifah, as-Sauri, dan Malik. Ahli fikih biasanya  lebih rasional daripada ahli hadits. Walupun berbagai  pendapat muncul  di kalangan ulama, kesimpulan akhir yang diambil oleh mayoritas ulama ialah bahwa penulisan hadits itu dibolehkan sejak zaman Nabi Saw. Apabila ada perbedaan pendapat antara boleh dan tidaknya, maka hal itu hanya berkaitan dengan situasi atau orang tertentu itu.[9]

Memahami Makna Hadits dan Sunnah
            Hadits nabi, atau yang sering juga disebut sebagai sunnah nabi, ternyata  tidak hanya menarik perhatian umat Islam dan para sarjana muslim untuk mempelajari dan mengkajinya. Sejumlah  sarjana Barat (non muslim) juga terlihat memiliki perhatian serius terhadap masalah ini. Mereka banyak mengkaji hadits nabi, terutama menyangkut  soal otentisitasnya.[10]
            Sebelum membahas persoalan lebih jauh terkait  sejarah penulisan hadits  dan problematikanya, penulis akan mencoba mengungkap makna dari hadits ataupun sunnah itu sendiri. Kata hadits  berasal dari bahasa Arab. Menurut Ibn Manzhur, hadits berasal dari kata al-hadits, jamaknya al-hadits al-haditsan dan al-hudatsan. Secara etimologis, kata ini memiliki banyak arti, diantaranya: al-jadid (yang baru), lawan dari al-qudim (yang lama), dan al-khabar, yang berarti kabar atau berita.[11] Adapun makna secara teminologis, hadits dirumuskan dalam pengertian yang berbeda-beda di anatara para ulama. Perbedaan-perbedaan itu lebih diakibatkan karena terbatas dan luasnya objek  tinjauan masing-masing, yang tentu saja mengandung kecenderungan pada aliran ilmu yang didalaminya.[12]
Ulama hadits  mendefinisikan hadits adalah segala sesuatu yang diberitakan  Nabi Saw. Baik berupa sabda, perbuatan, taqrir, sifat-sifat dan hal ihwal nabi.[13] Menurut istilah ahli Ushul Fiqh, hadits adalah  segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Saw selain al-Qur`an al-Karim, baik berupa perkataan, perbuatan, maupun taqrir Nabi yang bersangkut paut dengan hukum syara.[14]Menurut istilah para fuqaha, hadits adalah segala  sesuatu yang ditetapkan Nabi Saw yang tidak bersangkut paut dengan masalah-masalah fardhu atau wajib.[15]Jadi dengan demikian hadits adalah  segala berita yang berkenaan dengan: sabda, perbuatan, taqrir, dan hal ihwal Nabi Muhammad Saw, yang dimaksud hal ihwal disini adalah segala sifat dan keadaan pribadi Nabi Saw.[16]
            Adapun yang dimaksud dengan sunnah secara bahasa adalah jalan yang dilalui, baik terpuji atau tercela.[17]Sunnah secara istilah  adalah sebagaimana dikemukakan oleh Muhammad Ajaj al-Khatab, segala yang dinukilkan dari nabi Muhammad Saw, baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir, pengajaran, sifat, kelakuan, perjalanan hidup, baik sebelum Nabi  belum diangkat jadi Rasul atau sesudahnya.[18]

Kodifikasi Hadits dalam Beragam Istilah
            Dalam kamus Al-Muhith, kodifikasi atau al-tadwin diterjemahkan dengan “kumpulan shahifah” (mujtama` al-shuhuf).[19]Oleh karenanya makna al-tadwin menurut Muhammad bin Mathar al-Zahrani secara luas dapat diartikan dengan al-jam`u (mengumpulkan). Selanjutnya al-Zahrani merumuskan al-tadwin secara terminologis adalah mengikatkan yang berserak dan mengumpulkannya ke dalam dewan  atau kitab yang merupakan kumpulan dari shahifiyah[20]
            Dalam perkembangan selanjutnya, ada beberapa peristilahan yang kerap di gunakan oleh ahli-ahli hadits klasik untuk menunjukkan arti catatan-catatan atau tulisan  hadits. Diantaranya adalah  daftar, kurashah, diwan, kitab, shahifah, tumar, darj. Lima istilah  tersebut berupa media yang datar, bentuknya menyerupai buku yang dikenal  seperti sekarang ini. Sedangkan dua istilah  yang disebut di akhir bisanya berupa media yang panjang dan digulung.[21]

Periodisasi Sejarah Penulisan Hadits
1.      Periode Penulisan Hadits pada Masa Rasulullah
Pada periode ini disebut “Ashr al-Wahyi wa al-Takwin” (masa turunnya wahyu dan pembentukan masyarakat Islam).  Pada saat inilah hadits lahir berupa sabda (aqwal), af`al dan taqrir Nabi yang berfungsi menerangkan  al-Qur`an dalam rangka menegakan Syari`at Islam  dan membentuk masyarakat Islam.[22]
Periwayatan hadits pada masa Nabi Saw pada umumnya secara mushafahah-musyahadah, menerima secara lisan, meinginventarisir dan memelihara dalam hafalan dan amalan, serta menyampaikannya secara lisan pula. Pada masa Nabi adalah masa diturunkannya al-Qur`an dari Allah Swt dan masa diwurudkannya hadits oleh Nabi Saw. Perhatian Nabi Saw bagi pemeliharaan kedua dasar dan sumber syari`at sangat diperhatikan, hingga terjadi aktivitas dan sikap yang parallel antara pemeliharaan keduanya.  Untuk al-Qur`an, Nabi saw menyuruh para sahabat  menghafal dan menulisnya, serta secara resmi mengangkat penulis wahyu yang bertugas mencatat setiap ayat al-Qur`an yang turun atas petunjuk langsung dari Nabi Saw, sehingga sepeninggal Nabi Saw seluruh ayat al-Qur`an sudah tercatat  walau belum terkumpul dalam suatu mushaf.[23]
Terhadap hadits, Nabi Saw memerintahkan untuk dihafal dan ditabligkan dengan tidak boleh  sama sekali mengubahnya, tapi  tidak  menyelenggarakan penulisan secara resmi seperti penulisan al-Qur`an.[24] Berdasarkan penjelasan tersebut, maka pada masa Rasulullah Saw, hadits  belum dibukukan secara resmi, tidak seperti al-Qur`an. Menurut Muhammad Ajaj al-Khatib, tidak dibukukannya hadits pada masa Rasulullah tidaklah disebabkan  oleh persoalan teknis, sarana dan  sumber daya manusia, namun lebih disebabkan oleh persoalan  non teknis.[25]
Berikut beberapa persoalan non teknis terkait ketidakbolehan  penulisan hadits, sebagaimana diungkapkan oleh  al-Khatib yang bersumber dari hadits atau atsar:
1.      Abu Sa`id al-Hudzri meriwayatkan dari Rsulullah Saw, Beliau bersabda:”Janganlah kalian menulis (hadits) dariku. Dan barangsiapa menulis dariku selain al-Qur`an, maka hendaknya ia menghapusnya.
2.      Abu Sa`id al-Hudzri berkata:”Kami memohon  kepada Nabi Saw. Agar beliau mengizinkan  kami menulis (menulis hadits), namun beliau  tidak mengijinkannya”.
3.      Diriwayatkan  dari Abu Hurairah, ia berkata,”Rasulullah Saw mendatangi kami dan kami sedang menulis hadits. Kemudian beliau bertanya,”Apa yang sedang  kalian tulis?”Kami menjawab,”Kami sedang  menulis hadits yang kami dengar dari engkau, ya Rasulullah!”lantas beliau bersabda: Tulisan selain  Kitab Allah, tahukah kalian, bangsa-bangsa sebelum kalian tidak sesat  kecuali karena mereka menulis tulisan  lain bersama kitab Allah.
Sementara hadits-hadits dan atsar-atsar sahabat yang menunjukkan kebolehan penulisan hadits adalah sebagai berikut:
1.        Abdullah bin Amr bin al-Ash ra. Berkata,”Saya menulis segala  yang saya dengar dari Rasulullah Saw. Saya hendak menghapalnya, namun orang-orang Quraisy melarangku. Mereka berkata,”Engkau menuslis segala sesuatu yang engkau dengar dari Rasulullah Saw., sedangkan beliau manusia biasa yang kadangkala berbicara dalam keadaan marah dan senang”. Saya pun berhenti menulis. Kemudian saya teringat beliau ketika menunjukkan jari ke mulutnya seraya bersabda,: “Tulislah, maka demi allah yang jiwaku berada di tanga-Nya, tidak keluar darinya (mulut) kecuali kebenaran”.[26]
2.        Abu Hurairah berkata.”Tidak ada seorang pun sahabat Nabi Saw. Yang menjadi sumber riwayat Hadits lebih banyak dibandingkan dengan aku, kecuali riwayat dari Abdullah bin Amr karena ia menulis, sedangkan aku tidak menulis”.[27]
3.        Diriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa seorang sahabat Anshar menyaksikan hadits Rasulullah Saw., namun ia tidak hafal. Ia bertanya kepada Abu Hurairah, dan ia pun  memberitahukan kepadanya. Kemudian ia mengadukannya kepada Rasulullah Saw. perihal lemahnya daya hafalnya. Kemudian Nabi Saw. bersabda”Bantulah hapalanmu dengan tangan kananmu! (menulis).[28]
4.        Diriwayatkan dari Rafi` bin Khadij bahwa ia berkata,”Ya Rasulullah, kami mendengar banyak hal darimu (hadits). Apakah kami boleh menulisnya?”Beliau bersabda, “Tulislah dan tidak mengapa.”
5.        Diriwayatkan dari anas bin Malik bahwa ia berkata,”Rasulullah Saw. bersabda: “Ikatlah ilmu dengan tulisan”.[29]
6.        Diriwayatkan dari Rasulullah Saw. bahwa beliau menulis tentang sedekah, diyat, fara`idh, dan sunah-0sunah lainnya untuk Amr bin Haz dan yang lainnya.[30]
7.        Diriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa ketika Allah Swt. Memberikan kemenangan kepada Rasulullah Saw. atas kota Mekah, beliau berdiri dan berpidato. Kemudian seseorang dari Yaman, Abu Syah berdiri dan berkata,”Wahai Rasulullah, tuliskanlah pidato itu untukku”. Kemudian beliau bersabda  kepada sahabat lain,”Tuliskanlah untuknya.”[31]
8.        Diriwayatkan dari Ibnu `Abbas bahwa ia berkata,”Ketika Nabi Saw. sakit keras, beliau bersabda,”Bawkan aku buku, aku akan menuliskannya sesuatu untuk kalian sehingga kalian tidak akan sesat sesudahnya.”[32]
Berdasarkan penjelasan tentang yang membolehkan dan yang tidak membolehkan penulisan hadits, maka para ulama berusaha mengkompromikan hadits-hadits yang melarang penulisan dan membolehkannya. Pendapat mereka (sebagai hasil kompromi) terdiri atas empat pendapat. Pertama. Sebagian ulama berpendapat bahwa hadits Abu Sa`id al-Hudzri itu mawquf atas dirinya sendiri sehingga tidak dapat dijadikan hujjah. Kedua, larangan penulisan hadits itu hanya terjadi pada masa-masa awal Islam karena kekhawatiran akan bercampur baur dengan al-Qur`an. Ketiga, larangan penulisan hadits itu ditujukkan kepada orang-orang yang hafalannya bisa diandalkan. Sedangkan kebolehan menulis hadits semata-mata diberikan kepada orang-orang yang tidak kuat daya hafalnya, seperti Abu Syah. Keempat, larangan penulisan hadits itu bersifat umum, sedangkan pembolehannya bersifat khusus, yaitu terbatas bagi orang-orang pandai membaca dan menuslis, tidak melakukan kesalahn dalam menulis dan tidak  dikhawatirkan berbuat kekeliruan, seperti `Abdullah bin`Amr yang sangat dipercayai Rasulullah Saw.[33]

2.      Periode Penulisan Hadits pada Masa Sahabat (Masa Khulafa al-Rasyidin 11 H- 40 H)
Periode ini disebut “Ashr al-Tatsabbut wa al-Iqlal min al-riwaya”,[34] yakni masa pematerian dan penyedikitan riwayah.  Nabi Saw wafat pada tahun 11 H, kepada umatnya beliau meninggalkan dua pegangan sebagai dasar bagi pedoman hidupnya, yaitu al-Qur`an dan hadits (al-Sunnah) yang harus dipegangi bagi pengaturan seluruh aspek kehidupan umat.[35]
Adapun perhatian para khulafa al-rasyidin terhadap hadits pada dasarnya, bisa dijelaskan sebagai berikut:[36]
1.    Para khulafa al-rasyidin dan para sahabat berpegang bahwa hadits adalah dasar Tasyri`, maka setiap malam syaria`at Islam selalu berpedoman pada hadits bersama-sama dan atau setelah berpedoman pada ketentuan al-Qur`an.
2.    Para sahabat berusaha  mentabligkan segala hadits yang diterima mereka. Hal ini melaksanakan perintah Rasulullah Saw yang menyatakan bahwa “Ketahuilah, hendaklah orang yang hadir menyampaikan kepada orang yang tidak  hadir (jauh”).
Pada masa khulafa al-rasyidin menulis hadits  masih tetap terbatas dan belum dilakukan secara resmi, walaupun pernah khalifah `Umar mempunyai gagasan membukukan Hadits, namun niatan tersebut diurungkan kembali setelah beliau beristikharah. Ada beberapa pertimbangan, mengapa para sahabat tidak melakukan penulisan hadits secara resmi, berikut pertimbangannya:[37]
1.         Agar tidak memalingkan umat dari perhatian terhadap al-Qur`an. Perhatian sahabat masa khulafa al-rasyidin adalah pada al-Qur`an seperti tampak pada urusan pengumpulan dan pembukuannya hingga menjadi Mushaf.
2.         Para sahabat sudah menyebar sehingga terdapat kesulitan dalam menulis hadits.

3.      Periode Penulisan Hadits pada Masa Shahabat Kecil dan Tabi`in
(40 H – 100 H)
Periode ini disebut “Ashr Intisayar al-Riwayah ila al-Amshar”,[38] yakni masa berkembang dan meluasnya periwayatan hadits. Pada masa ini daerah Islam makin meluas, yakni ke negeri Syam, Irak, Mesir, Samarkand bahkan pada tahun 93 Hijriyah sampai  ke Spanyol. Hal ini dibarengi dengankeberangkatan para sahabat ke daerah-daerah tersebut terutama dalam rangka tugas memangku jabatan pemerintahan dan penyebaran ilmu agama.
Bagi pengamalan agama pada generasi setelah sahabat, yakni sahabat kecil dan tabi`in, yang memerlukan untuk mengetahui hadits-hadits Nabi Saw, mereka berangkat mencari hadits, menanyakan dan belajar  kepada para sahabat besar yang sudah tersebar di seluruh pelosok wilayah Daulah Islamiyah. Dengan demikian,  pada masa ini, disamping tersebarnya periwayatan hadits ke pelosok-pelosok daerah Jazirah Arab, juga tentunya perlawatan untuk mencari hadits  pun menjadi ramai.
Pada masa ini dikenal dengan meningkatnya periwayatan hadits, maka muncullah bendaharawan-bendaharawan hadits, dan muncul pula lembaga-lembaga (Centrum Perkembangan) hadits di berbagai daerah seluruh negeri. Diantara bendaharawan hadits, yakni menerima hadits, menghafal dan mengembangkan atau meriwayatkan hadits, diantaranya:[39]
1.      Abu Hurairah, menurut Ibn al-Jauzi, beliau meriwayatkan 5374, menurut al-Kirmany 5364.
2.      `Abdullah ibn `Umar, meriwayatkan 2630
3.      Anas ibn Malik, meriwayatkan 2276
4.      `aisyah, Istri Rasul Saw, meriwayatkan 2210
5.      `Abdullah ibn `Abbas, meriwayatkan 1660
6.      Jabir ibn `Abdullah, meriwayatkan 1540
7.      Abu Sa`id al-Khudri, meriwayatkan 1540
8.      `Abdullah ibn Mas`ud
9.      `Abdullah ibn `amr ibn `ash.
Adapun lembaga-lembaga hadits, yakni yang menjadi pusat bagi usaha penggalian, pendidikan dan pengembangan hadist terdapat di berbagai tempat diantaranya[40]:
1.      Madinah, dengan tokoh-tokohnya Abu Bakar, `Umar, `Ali, Abu Hurairah, `Aisyah,  Ibn `Umar, Abu Sa`id al-Khudri, Zaid ibn Tsabit (dari kalangan sahabat), `Urwah, Sa`id, al-Zuhri, ` Abdullah ibn `Umar, al-Qasim ibn Muhammad ibn Abi Bakar, Nafi`, Abu Bakar ibn Abd al-Rahman Ibn Hisyam, Abu Zinad (dari kalangan tabi`in).
2.      Makkah, dengan tokoh-tokoh; Mu`adz, Ibn `abbas 9dari kalangan sahabat), Mujahid, `Ikrimah, Atha` ibn Abi Rabbah, Abu al-Zubair Muhammad ibn muslim (tabi`in).
3.      Kuffah, dengan tokoh-tokohnya; `Ali, ` Abdullah ibn Mas`ud, Sa`ad ibn Abi Waqas, Sa`id ibn Za`id, Khabbah ibn al-Arat, Salman al-Farisi, Abu Juhaifah (sahabat), Masruq, `Ubaidah, al-Aswad, Syuraih, Ibrahim, Sa`id ibn Jubair, `Amir ibn Syurail, al-Syab`bi (tabi`in).
4.      Basrah, dengan   tokoh-tokohnya; Anas ibn Malik, `Utbah, Imran ibn Husain, Abu Barzah, Ma`qil ibn Yasar, Abu Bakrah, ` Abd al-Rahman ibn Samurah, `Abdullah ibn Syaikhkhir, Jariah ibn Qudamah 9sahabat), Abu al`Aliyah, rafi` ibn Mihram al-Riyahi, al-Hasan al-bisri, Muhammad ibn sirin, Abu Sya`tsa, Jabir ibn Zaid, Qatadah, Mutharraf ibn `Abdullah ibn Syikhkhir, Abu Bardah ibn Abi Musa (tabi`in).
5.      Syam, dengan tokoh-tokohnya; Mu`adz ibn Jabbal, `Ubadah ibn Tsamit, Abu Darda (sahabat), Abu Idris al-Khaulani, Qabisah ibn Dzuaib, Makhul, raja` ibn Haiwah (tabi`in).
6.      Mesir, dengan tokoh-tokohnya; `Abdullah ibn`Amir, `Uqbah ibn `Amir, Kharijah ibn Hudzaifah, `Abdullah ibn Sa`ad, Mahmiyah ibn jur, `Abdullah ibn Harits, Abu Basyrah, Abu Sa`ad al-Khair, Martsad al0Yaziri, Yazid ibn Abi Habib (tabi`in)
Jadi pada masa sahabat kecil dan tabi`in, hadits mengalami perkembangan yang cukup signifikan, dan tentu tidak hanya bersifat lisan tetapi dalam bentuk penulisannya pun mulai berkembang dengan lahirnya tokoh-tokoh serta lembaga-lembaga periwayatan hadits di berbagai daerah. 

4.      Periode Penulisan Hadits Pada Abad Kedua  dan Ketiga Hijriyah
(100 – 200 H dan 200 H – 300 H).
            Periode ini disebut ‘Asahr al-Kitabah al-Tadwin”, yakni masa penulisan dan pembukuan. Maksudnya penulisan dan pembukuan secara resmi yang diselenggarakan oleh atau atas inisiatif pemerintah secara umum. Sebab kalau secara perorangan sebelum abad II H, hadits sudah banyak ditulis baik pada masa tabi`in sahabat kecil, sahabat besar dan bahkan sejak masa Nabi Saw.[41]
            Usaha pembukuan hadits secara resmi dimulai awal abad II Hijriyah, yakni pada masa pemerintahan Khalifah `Umar ibn `Abd al`Aziz tahun 101 H. Adapun hal-hal yang mendorong timbulnya usaha pentadwinan hadits secara resmi adalah sebagai berikut:[42]
1.      Pada akhir abad I H, para penghafal hadits semakin berkurang karena sudah banyak yang meninggal dunia. Apalagi karena banyaknya peperangan, maka berkuranganya para sahabat dan tabi’in penghafal Hadits terasa cepat sekali karena gugur di medan perang.
2.      Periwayatan secara lisan dengan berperang pada hafalan dan ingatan dalam keseragaman lafaj dan makna tidak bisa berlangsung sangat lama, sebabnya ialah
a.         Faktor intern: Kondisi kaum Muslim sendiri dalm menghafal riwayat dan memelihara hafalan tersebut makin lama makin berkurang, dikarnakan antara lain:
Ø  Semangat penghafal berkurang karena pengaruh kadar iman yang berada pada kaum muslimin memelemah.
Ø  Perubahan watak, pengaruh, pengaruh percampuran ras, dan berubahnya keadaan masyarakat  dan kehidupan.
b.         Faktor ekstern: Pengaruh yang datang dari luar, antara lain
Ø  Makin banyaknya problema hidup dari masa ke masa dalam berbagai sector kehidupan; social, ekonomi, dan politik.
Ø  Tidak henti-hentinya terdapat serangan dari kaum yang sengaja merusak hadits dengan jalan mengaburkan hadits-hadits yang sebenarnya.
3.      Mulai tahun 40 H, periwayatan hadits dikaburkan oleh timbulnya pemalsuan hadits yang dilakukan oleh orang-orang kafir, munafik dan zindiq.
4.      Pada masa tabi`in tidak dikhawatirkan lagi tercampurnya antara al-Qur`an dan hadits, sehingga tidak menimbulkan kesamaran tentang al-Qur`an sebagai tasyri` yang pertama telah dibukukan, maka hadits pun yang berfungsi sebagai interpretasi al-Qur`an, secara otomatis harus dibukukan.
5.      Perkembangan ilmu pengetahuan semakin maju karena semakin luasnya scope pengenalan umat dan pertemuan peradaban antara orang Islam dengan anak-anak negeri yang kemudian menjadi wilayah Islam, begitu pula pengaruh literature  yang dating dari luar, maka merangsang dan mendorong kea rah pentadwinan/pembukuan hadits, sebab hadits adalah salah satu sumber ilmu pengetahuan.
6.      Pada umat Islam sudah tersedia potensi atau sarana untuk keperluan penulisan, pengumpulan dan pembukuan hadits yakni kepandaian tulis baca yang semakin meluas di kalangan bangsa Arab dan  semakin bersemangat memelihara dan membina Sunnah Nabi Saw, baik dalam mencari, memahami, menghafal, mengamalkan, dan menyebarkan. Dengan demikian untuk aktifitas pentadwinan hadits, umat Islam siap lahir batinnya.

5.                  Periode Penulisan Hadits Pada Masa Mutaakhirin (300 H -….)
Periode ini disebut “Ashr al-Tahzhib wa al-Tartib wa al Istidrak wa al-Jami`i”. yakni masa pembersihan, penyusunan, penambahan dan pengumpulan, berlangsung sejak abad IV sampai 656 H. sedangkan periode ketujuh berlangsung mulai tahun 656 H, saat berakhirnya Daulah Bani Abbas (Abbasiyah) sampai masa-masa seterusnya. Masa ini disebut; ‘Ashr al-Syarh wa al-Jami`I wa al-Takhrij wa al-Bahts”, yakni masa penyerahan, pengumpulan, pentakhrijan, dan pembahasan.[43]
Corak periwayatan hadits pada masa mutaqadimin dengan penukilan langsung dari para penghafal, sedangkan pada masa mutaakhirin para ulama mencukupkan periwayatan dengan menukil dan mengutip dari kitab-kitab hadits yang ditadwin oleh ulama-ulama abad II dan II H. Bertolak dari hasil tadwin itulah maka ulama-ulama di abad IV H memperluas system dan corak tadwin, menertibkan penyusunan, penyusunan spesialisasi dan kitab-kitab  komentar serta kitab-kitab gabungan, dan lain-lainnya. Aktifitas tadwin hadits abad IV H, dan selanjutnya disebut aktifitas Tadwin ba`da tadwin. Dari keseluruhan aktifitas tersebut dapat diklasifikasikan dan disimpulkan sebagai berikut:[44]
1.      Tadwin hadits dengan perluasan dan penyempurnaan system dan corak;
a.Tadwin hadits dengan mengumpulkan hadits-hadits shahih yang tidak terdapat dalam kitab-kitab shahih.
b. Tadwin hadits dengan mengumpulkan hadits-hadits yang memiliki syarat-syarat salah satunya yang kebtulan tidak dishahihkan oleh beliau. Kitabnya disebut Mustadrak.
c. Tadwin istikhraj, yakni dengan mengumpulkan hadits-hadits yang diambil dari sesuatu kitab, misalnya dari al-Jami` al Shahih al-Bukhari, lalu meriwayatkan dengan sanad sendiri yang lain dari sanad yang terdapat pada kitab tersebut. Kitabnya disebut Mustakhraj.
d.  Tadwin Athraf, yaitu tadwin hadits dengan menyebut sebagian Hadits, kemudiaan dikumpulkan segala sanad-sanadnya yang terdapat dalam beberapa kitab.
e.   Tadwin dengan usaha mengumpulkan hadits-hadits yang didapat disautu kitab, kemudian dikumpulkan dalam satu kitab lain denagn peristiwanya, dan bagaimana nilai-nilainya. Kitab denagn tadwin cara ini disebut kitab takhrij.
f.   Tadwin dengan menambah Hadits-hadits yang terdapat dalam kitab-kitab sebelumnyamenjadi sebuah kitab tertentu kitab ini disebut Kitab Zawaid.
g.  tadwin hadits denagn menggabungkan Hadits-hadits yang terhimpun pada kitab lain, mialnya isi kitab-kitab shahih, kitab-kitab enam. Kitab hasil tadwin denagn cara menggabungkan ini disebut Kitab Jami’ dan kalau lebih luas lagi disebut Jawami’
h. Tadwin denagn komentar, penafsiran pembahasan secara luas dan mendalam darai isi kitab-kitab hadits tertentu kitabny disebut Kitab Syarah.
i.  Adapun tadwin denagn meringkas isi dari kitab-kitabHadits tertentu, maka haditsnya disebut Kitab Syarah
2.  penusunan kitab-kitab Hadits secara spesialisasi maksudnya tadwin mengkhususkan kedalam diwan-diwan tersebut materi-materi Hadits dalam bidang-bidang tertentu:
     a. Tadwin Hadits Hukuk, yakni khusus pembukukan Hadits-hadits mengeani hukum
    b. Tadwin Hadits Targhib, yakni mengumpulkan hadits-hadts mengenai keutamaan alam, menggambarkan perubahan baik dan menjauhkan perbuatan terlarang.
    c. Tadwin Hadits Qudsi, menghimpun Hadits-hadits Qudsi, Hadits yang disabdakan oleh Nabi SAW dengan menisbakan perkataan itu kepada Allah SWT.
   e.  Tadwin Hadits Adzkar, menghimpun hadis-hadist Adzkar.
Penutup
Komitmen  para sahabat yang begitu kuat terhadap ajaran Islam telah melahirkan dua pandangan yang fundamental. Pertama, para sahabat enggan kemurniaan al-Qur`an-yang pada saat itu masih sangat baru- tercemari dengan catatan-catatan lain di luar al-Qur`an. Sikap dan pandangan mereka diilhami dari beberapa  statemen Nabi Saw, berkenaan dengan pelarangan penulisan  tersebut. Kedua, para sahabat yang hendak melestarikan tradisi Rasulullah Saw, berupaya  mengabadikannya lewat tulisan, dengan senantiasa menjaga pencampuran dengan al-Qur`an.[45]
Disini Nampak jelas, bahwa awal terjadinya kontroversi dalam penulisan hadits sebenarnya dilandasi oleh pertimbangan-pertimbangan yang memang sangat realistis. Dimana dipihak yang  melarang penulisan hadits, mereka tidak mau kalau di masa awal turunnya al-Qur`an, hadits langsung dicatat karena akan bisa mempengaruhi kualitas al-Qur`an sebagai wahyu Allah, tapi di pihak lainnya ingin agar tradisi Rasulullah Saw tetap diamalkan, sehingga memandang perlu adanya upaya penulisan hadits tersebut. Yang pada akhirnya, perlu kita sadari betul bahwa  hari ini kita bisa menyaksikan dan bahkan mengamalkan bagaimana hadits-hadits yang diperjuangkan para ulama sebelumnya mengalami perkembangan yang signifikan. Tentu ini menambah keyakinan kita bahwa al-Qur`an sebagai pedoman hidup di dilengkapi dengan hadits Rasulullah Saw. sehingga amaliah ibadah kita memadukan kedua pedoman hidup tersebut.









Daftar Pustaka

Ahmad Tholabi Kharlie, “Kodifikasi Hadis: Menelusuri Fase Penting Sejarah Hadis Nabawi”, Jurnal, Refleksi, Vol. VII, No 2, (Jakarta: Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah, 2005).
Ali Masrur, Teori Common Link G.H.A. Juynboll Melacak Akar Kesejarahan Hadits Nabi, (Yogyakarta: LKiS,2007)
Ali Mustafa Yaqub, Kritik Hadits (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1996),
Endang Soetari, Ilmu Hadits  Kajian Riwayah dan Dirayah, (Bandung: Mimbar Pustaka, 2008)
Musthafa al-Saba`I, Al-Sunnah wa Makanatuha fi al-Tasyri` al-Islami (Beirut: al-Maktab al-Islam, 1978)
Muhammad Ibn Mukarram Ibn Manzhur, Lisan al-Arab, 1992
Muhammad Ajaj al-Khatib, al-Sunnah Qabla al-Tadwin, Kairo, Maktabah Wahbah, 1975.
Muhammad bin Mathar al-Zahrani, Tadwin al-sunah  al-Nabawiyah, Nasy`atihi wa tatthawwurihi min al-qarn al-awwal ila nihayat al-qarn al-tasi al-hijri (Thaif: Maktabah al-Shadiq, 1412 H
Muhammad Mustafa Azami, Dirasat fi al-ahadits al-Nabawi wa Tarikh Tadwinihi (Beirut: al-Maktab al-Islami, 1980), cet. II, h. 373-374.
Nurcholish Madjid, Pengantar Penterjemah dalam buku Sunnah dan Peranannya dalam Penetapan Hukum Islam karya Musthafa Al-Siba`I (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1993).
T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah Pengantar Perkembangan Hadits, (Jakarta: Bulan Bintang, 1973),
Taufik Abdullah, dkk. (Ed.), Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, Pemikiran dan Peradaban, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve,tt).
           


[1] Disampaikan pada diskusi Mata Kuliah Ilmu Hadist Program S2 Religious Studies Pascasarjana UIN Sunan Gunung Djati Bandung
[2] Yang dikatakan inkar al-sunnah (suatu kelompok yang menentang sunnah), diantara alasannya adalah, pertama, menolak sunnah karena merasa cukup dengan al-Qur`an, kedua, menerima hanya hadits mutawatir, ketiga, menerima hanya  hadits yang sejalan dengan al-Qur`an, keempat, mensyaratkan keberadaan sanad hadits sampai sekarang. Periksa, Taufik Abdullah, dkk. (Ed.), Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, Pemikiran dan Peradaban, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve,tt), h.64.
[3] Ahmad Tholabi Kharlie, “Kodifikasi Hadis: Menelusuri Fase Penting Sejarah Hadis Nabawi”, Jurnal, Refleksi, Vol. VII, No 2, (Jakarta: Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah, 2005), h. 197.
[4] Nurcholish Madjid, Pengantar Penterjemah dalam buku Sunnah dan Peranannya dalam Penetapan Hukum Islam karya Musthafa Al-Siba`I (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1993), cet. III, h. ix, dalam Ahmad Tholabi Kharlie, ibid.
[5] Untuk persoalan ini dapat dilihat dalam, Musthafa al-Saba`I, Al-Sunnah wa Makanatuha fi al-Tasyri` al-Islami (Beirut: al-Maktab al-Islam, 1978). Dalam Ahmad Tholabi Kharli, ibid, h. 197-198.
[6]Ahmad  Tholabi Kharlie, ibid.
[7] Taufik Abdullah, dkk. (Ed.), Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, Pemikiran dan Peradaban, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve,tt), h.68.
[8] Ibid.
[9] Ibid, h. 68-69
[10] Ali Masrur, Teori Common Link G.H.A. Juynboll Melacak Akar Kesejarahan Hadits Nabi, (Yogyakarta: LKiS,2007), h. v.
[11] Muhammad Ibn Mukarram Ibn Manzhur, Lisan al-Arab, 1992, juz II, h. 131, dalam Endang Soetari, Ilmu Hadits  Kajian Riwayah dan Dirayah, (Bandung: Mimbar Pustaka, 2008), cet v, h.1.
[12] Endang Soetari, Ibid
[13] Muhammad Ajaj al-Khatib, al-Sunnah Qabla al-Tadwin, Kairo, Maktabah Wahbah, 1975, h. 19, dalam Endang Soetari, Op. Cit. 2.
[14] Ibid
[15] Muhammad Ajaj al-Khatib, al-Sunnah Qabla al-Tadwin, Kairo, Maktabah Wahbah, 1975, h. 19, dalam Endang Soetari, Op. Cit. 4.
[16]  Endang Soetari, Ibid.
[17] Ibid, h. 6
[18] Ibid
[19] Muhammad bin Mathar al-Zahrani, Tadwin al-sunah  al-Nabawiyah, Nasy`atihi wa tatthawwurihi min al-qarn al-awwal ila nihayat al-qarn al-tasi al-hijri (Thaif: Maktabah al-Shadiq, 1412 H), cet. I, h. 73 kutipan dari al-Qamas al-Muhith li al-Fayruz Abadi IV/226, dalam Ahmad  Tholabi Kharlie, Op. Cit, h. 199
[20] Ibid, h. 199-200
[21] Ali Mustafa Yaqub, Kritik Hadits (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1996), cet. II, h. 68 kutipan dari Muhammad Mustafa Azami, Dirasat fi al-ahadits al-Nabawi wa Tarikh Tadwinihi (Beirut: al-Maktab al-Islami, 1980), cet. II, h. 373-374. , dalam Ahmad  Tholabi Kharlie, Op. Cit, h. 200

[22] T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah Pengantar Perkembangan Hadits, (Jakarta: Bulan Bintang, 1973), h. 16-29, dalam Endang Soetari, Op. Cit, h. 33
[23] Endang Soetari, Ibid, h. 33-35
[24] Ibid
[25] Ahmad  Tholabi Kharlie, Op. Cit, h. 201

[26] Abdullah al-Darimi, Sunan al-Darimi (Cairo: Dar al-Fikr, 1298 H/1978 M), Juz I, h. 125-126, periksa dalam Ahmad  Tholabi Kharlie, Op. Cit, h. 202
[27] Al-Asqalani, Fath al-Bari (Beirut: Dar al-Fikr, tt), Juz I, h. 217, periksa dalam Ibid.
[28] Al-Khatib, Ushul al-Hadits, `Ulumuh wa Mushthalahuh, (Beirut: Dar al-Fikr, 1989), h. 137, periksa dalam Ahmad  Tholabi Kharlie, h. 202-203
[29] Al-Khatib, Op. Cit, h. 139, periksa dalam Ahmad  Tholabi Kharlie, h. 203
[30] Ahmad bin Hanbal, Musnad al-Imam ahamad (Beirut: Al-Maktabah al-Islamiyah, tt), Juz. 12, h. 232, periksa dalam Ahmad  Tholabi Kharlie,Loc. Cit h 203
[31] Al-Khatib, Op. Cit, h. 148, periksa dalam Ahmad  Tholabi Kharlie, Ibid.
[32] Ibid., h.150, periksa dalam Ahmad Tholabi Kharlie, Ibid.
[33] Ahmad  Tholabi Kharlie, Op. Cit, h. 203-204
[34] T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah Pengantar Perkembangan Hadits, (Jakarta: Bulan Bintang, 1973), h. 16-29, dalam Endang Soetari, Op. Cit, h. 41
[35] Endang Soetari, Ilmu Hadits  Kajian Riwayah dan Dirayah, (Bandung: Mimbar Pustaka, 2008), cet v, h.41.
[36] Ibid
[37] Endang Soetari, Op. Cit, h. 45
[38] T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah Pengantar Perkembangan Hadits, (Jakarta: Bulan Bintang, 1973), h. 16-29, dalam Endang Soetari, Op. Cit, h. 46

[39] Endang Soetari, Op. Cit, h. 46-47
[40] Ibid
[41] T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah Pengantar Perkembangan Hadits, (Jakarta: Bulan Bintang, 1973), h. 13-14, dalam Endang Soetari, Op. Cit, h. 53
[42] Endang Soetari, Op. Cit, h. 53-55
[43] T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah Pengantar Perkembangan Hadits, (Jakarta: Bulan Bintang, 1973), h. 82-145, periksa dalam Endang Soetari, Op. Cit, h. 66-67
[44] Endang Soetari, Op. Cit h. 67-69


[45] Ahmad  Tholabi Kharlie, Op. Cit, h. 215

Tidak ada komentar:

Posting Komentar