Minggu, 20 November 2011

Teori Agama-Agama


THE REALITY OF “THE SACRED
(REALITAS YANG SUCI)[1]
Oleh :Dewi Nuraeni

A.    Pendahuluan

Dalam studi agama-agama mengungkap tentang asal-usul agama merupakan kajian yang sangat mendasar dan penting adanya. Agama yang berkembang pada masyarakat primitive sebagai awal terkuaknya agama-agama yang berkembang  pada saat ini, tentu  merupakan hasil kajian yang sangat mendalam terhadap masyarakat tersebut.  Dimana bisa jadi agama yang berkembang pada masyarakat primitive berawal dari sesuatu yang sederhana yang dipahami sesuai kemampuan masyarakatnya. Oleh karena itu penelitian-penelitian tentang awal mula munculnya agama banyak dilakukan oleh tokoh-tokoh terhadap masyarakat primitive dengan pendekatan sosiologis antropologis.
Selanjutnya Agama pun sudah menjadi bagian integral dari kebudayaan manusia selama bertahun-tahun, tetapi hanya pada dua abad terakhir para pemikir mulai percaya bahwa agama bisa dijelaskan melalui analisis kritis dan ilmiah. Kapan dan bagaimana agama muncul? Apakah kekuatan atau motif-motif yang menciptakannya? Apakah ia bersifat rasional atau emosional? Apakah agama mampu  mnemenuhi kebutuhan individual atau kebutuhan sosial? Mengapa agama begitu universal dan kuat pengaruhnya dalam kehidupan manusia? Pertanyaan-pertanyaan ini telah menarik beberapa pemikir terkemuka di abad modern-        diantaranya Sigmund Freud dan Karl Mark- dan telah memunculkan berbagai penilaian yang berbeda dan tajam mengenai kedudukan agama dalam kehidupan manusia.[2]
Dalam kesempatan ini penulis akan mencoba mengungkap teori asal usul agama yang dilakukan oleh Mircea Eliade. Mircea Eliade, seorang sarjana Roma-Amerika yang berpengaruh sebagai perintis pendekatan reduksionis yang paling terkenal berpendapat bahwa prilaku dan ide-ide keagamaan dapat dipahami dengan benar hanya ketika dilihat dari sudut pandang orang yang mempercayainya.[3]
Hal yang penting untuk memahami pemikiran Mircea Eliade tentang teori asal usul agama, penulis mengungkapnya melalui;  Eliade, His Life and Works (Eliade, kehidupan dan pekerjaannya), Two Axioms (Dua Aksioma), The Sacred and The Profane (Yang Suci dan Yang Biasa), Symbols and Myths (Simbol-simbol dan Mitos), History and Sacred Time (Sejarah dan Waktu yang Suci).

B.     Eliade, His Life and Works (Eliade, kehidupan dan pekerjaannya)
Mircea Eliade lahir di Bucharest pada tanggal 9 Maret 1907, anak seorang pegawai dalam angkatan darat Rumania. Saat anak-anak, Eliade suka dengan tempat-tempat yang sepi, sains, cerita dan menulis. Pada saat dewasa Eliade melanjutkan studi di Universitas Bucharest dan di Italia. Ia mempelajari  para pemikir Platonis mistik dari zaman Renaisance Italia.  Saat melakukan pekerjaan ini, ia menemukan pemikiran Hindu yang menekankan kesatuan spiritual dengan jiwa tertinggi yang ada di balik dunia. Segeralah ia berangkat ke India untuk belajar pada sarjana dan orang bijak yang terkenal, Surendranath Dasgupta. Datang di akhir tahun 1928, Eliade mendaftar di Universitas Calcutta dan bekerja dengan Dasgupta di rumahnya. Dalam suatu bidang yang agak kurang spiritual, ia juga memulai affair dengan  putri penasihatnya itu. Suatu perpisahan yang tak menyenangkan dari gurunya pun terjadi, dan ia pindah untuk berlatih yoga bersama  dengan seorang guru di Himalaya.[4]
Selanjutnya, Eliade menyatakan bahwa tinggalnya di India itu memiliki pengaruh yang menentukan pada kehidupannya. Khususnya, kata Eliade, ia menemukan tiga hal: Pertama, bahwa kehidupan dapat diubah dengan apa yang ia sebut sebagai pengalaman “sacramental”.  Kedua, bahwa symbol adalah kunci untuk sebuah kehidupan spiritual yang sebenarnya. Ketiga, yang paling penting bahwa banyak hal yang dapat dipelajari dari daerah pedalaman India, dimana ada suatu warisan agama rakyat  yang besar  dan sangat kuat-suatu bentuk kehidupan spiritual yang terasa,  yang telah muncul sejak dahulu kala.[5] Sehingga, Eliade menyebutkan bahwa keberadaannya selama di India merupakan awal dalam menemukan perasaan  religious yang kosmis.[6]
Pada  tahun 1931, tiga tahun kemudian, Eliade kembali ke Rumania untuk menyelesaikan tugas militer. Eliade terus menulis, dan pada tahun 1933, pada usia  dua puluh enam tahun, ia terkenal di negaranya dengan menerbitkan sebuah novel yang memenangkan hadiah, berjudul Maitreyi (dalam bahasa Inggris, Bengal Night), yang didasarkan pada percintaannya dengan Putri Dasgupta.[7]
Eliade menyelesaikan disertasinya yang berjudul Yoga: An Essay on the origin of Indian Mystical Theology (1936), diterbitkan di Prancis, sebuah karya pertama dari karya-karya  tentang subjek yang semacam itu. Setelah menerima gelar ini, Eliade mulai mengajar di Bucharest sebagai asisten filsuf yang berpengaruh, Nae Ionesco, yang juga seorang tokoh terkemuka di dalam organisasi nasional Rumania yang dikenal  Legion on the  Arshangel Micheal. Beberapa anggota dari kelompok ini, yakni sayap teroris yang kejam dan dikenal sebagai  the Iron Guards, melihat peran mereka di Rumania seperti peran partai Nazi di Jerman, dan mereka menunjukkan simpati pada Hitler.  Dari kalangan ini Eliade memiliki teman yang lain juga, meskipun dalam perannya, Eliade tampak lebih  suka dengan kehidupan lebih intelektual, mengedit jurnal, menulis dan melakukan diskusi tentang isu-isu dan gerakan mutakhir dalam sastra, filsafat dan seni. Tentang kegiatan yang lain, Eliade selalu enggan  berbicara, secara umum  menggambarkan dirinya sebagai seorang yang nonpolitik.[8]
Selama tahun-tahun Perang Dunia II, Eliade diperintahkan oleh pemerintah Rumania untuk menduduki jabatan diplomat di Lisbon, Portugal. Saat peperangan berakhir, ia memilih tidak kembali ke Rumania tetapi memilih tinggal di Paris, di mana ia diberi kesempatan untuk mengajar di Ecole des Hautes Etudes. Di sini, Eliade menyelesaikan riset untuk dua buku penting, yang memberi jalan pada sebagian besar dari pemikiran dan studinya yang belakangan. Pattern in Comparative Religion (1949) yang menggali peran simbol-simbol dalam agama, sementara The Myth of the Eternal Return (1949) meneliti konsep sejarah dan waktu yang sakral maupun  perbedaan antara agama purba (archaic religion) dengan pemikiran modern. Kedua buku itu diterbitkan di Prancis. Saat karyanya sedang berkembang, Eliade lebih lanjut mengambil inspirasi dari Carl Jung, seorang psikolog Swiss dan bekas kawan Freud, yang ia temui pada tahun 1950 di Ascona, Switzerland, selama pertemuan rutin para intelektual Eropa yang dikenal dengan the Eranos Conference. Hingga kematian Jung di tahun 1960-an, Eliade mengunjunginya secara rutin, menemukan  pada diri Jung tidak hanya pendukung ide-idenya tentang agama purba, tetapi juga semacam pertunjukan  yang hidup tentang ide-idenya. Tentang diskusi mereka, Eliade menulis, “Aku merasa bahwa aku sedang mendengarkan seorang  bijak dari Cina atau seorang petani Eropa Timur, tetap berakar pada ibu Bumi, namun di saat yang sama melekat di langit.”[9]
Tahun 1950-an membawa perubahan penting yang terakhir dalam karir ilmiah Eliade. Setelah mengajar di University Chicago, Eliade meneriama jabatan guru besar di Divinity School; pada tahun 1962, ia menjadi salah satu Distinguished Service Professor di Universitas tersebut.[10].Dengan jabatannya di Chicago selama sisa hidupnya, Eliade dapat mengabdi sebagai pembimbing bagi suatu generasi sarjana muda yang berbakat, yang terinspirasi oleh teladannya, meskipun pada umumnya mereka cenderung berbeda pandangan dari dirinya. Eliade memilih mengukur pengaruhnya dengan menyebut suatu statistik yang sederhana. Saat ia datang ke Chicago, disana baru ada tiga guru besar yang penting dalam sejarah agama-agama di Amerika Serikat; dua belas tahun kemudian, ada tiga puluh, separonya merupakan mahasiswa-mahasiswanya.[11]Bermula di India dan berakhir di Chicago, meskipun karir-dan kehidupan Eliade- di mana ia melihat banyak pertentangan bertemu: Timur dan Barat, tradisi dan modernitas, mistisisme dan rasionalitas, kontemplasi dan kritisisme.[12]Eliade melanjutkan riset dan menulis saat telah pensiun hingga meninggal akibat stroke pada tanggal 22 April 1986.[13]

C.    Two Axioms (Dua Aksioma)
Sebelum lebih jauh membahas teori Eliade secara rinci, kita harus memperhatikan fondasinya yang menjadi dasar pemikirannya. Secara sederhana terdapat dua ide secara khusus bertindak sebagai aksiomanya, atau landasannya, keduanya adalah landasan bagi segalanya. Pertama, Eliade memiliki  pijakan kuat atas pendekatannya pada reduksionisme.[14]Eliade percaya pada indepedensi atau “otonomi” agama, yang  baginya tidak dapat dijelaskan hanya sekedar hasil dari suatu realitas yang lain.[15]
Suatu fenomena agama, tegas Eliade adalah “A religious phenomenon will only be recognized as such if it is grasped at its own level, that is to say, if it is studied as something religious. To try  to grasp the essence of such a phenomenon by means of phsyologi, sociology, economics, linguistics, art, or any study is false, it misses the one unique and irreducible element in it-the element of the sacred.[16] (Fenomena agama hanya akan dianggap dimengerti apabila dipahami menurut tingkatannya sendiri, yakni jika ia dipelajari sebagai sesuatu yang religious. Mencoba untuk menangkap esensi dari fenomena semacam ini dengan alat fisiologi, psikologi, sosiologi, ekonomi, bahasa, seni atau studi yang lain adalah salah, ia kehilangan  suatu unsur yang unik dan tak  dapat direduksi di dalamnya-yaitu yang sakral).
Agama bagi Eliade dianggap  sebagai sebuah fenomena sui generis yang hanya bias dimengerti dalam termnya sendiri. Karenanya kerja sejarawan agama seperti dirinya adalah untuk menguraikan makna mendalam dari fenomena keagamaan. Dalam bahasa ilmu-ilmu alam, mungkin dapat dikatakan bahwa agama tidak boleh ditafsirkan sebagai suatu “variable yang dependen”, sesuatu yang selalu berubah menurut tes atau eksperimen. Bahkan, ia harus dianggap sebagai variable yang konstan, atau independen; aspek-aspek kehidupan yang lain-sosial, ekonomi, psikologi-harus dipahami bergantung padanya. Sebagai suatu unsur dalam perilaku manusia, agama berfungsi sebagai sebab, bukan akibat.[17]
Aksioma kedua, berlaku terhadap metode. Sebenarnya jika agama adalah sesuatu yang independen, sesuatu yang tidak dapat dijelaskan semata-mata melalui sosiologi maupun psikologi, maka bagaimanakah kita harus menjelaskannya? Eliade menjawab bahwa kita harus menghubungkan dua sudut visi yang terpisah. Karena mahasiswa agama kebanyakan mempelajari masa lalu, maka sedikit banyak  subjek mereka adalah sejarah semata. Dengan demikian, seperti para sejarawan yang lain, mereka mengumpulkan dan menyusun fakta, membuat generalisasi, mengkritisasi, dan mencoba untuk menemukan sebab atau konsekuensi. Dalam hal ini, disiplin mereka tentunya adalah sejarah agama-agama. Pada saat yang sama, studi agama tidak bisa hanya sejarah. Kita baru dapat memahami agama ketika kita juga  menerapkan apa yang disebut Eliade dengan “fenomenologi” (dari kata Yunani phenomenon, “penampakan”);studi perbandingan terhadap hal-hal dalam bentuk, atau penampilan, yang hadir pada kita. Setiap sains sebagian adalah fenomenologi. Kita tahu warna merah dalam spektrum karena penampakannya berbeda  dari yang biru atau violet. Dengan ukuran yang sama, satu cara kita mengetahui suatu bentuk keagamaan-ritual atau kepercayaan-adalah dengan  membandingkannya dengan yang lain. Maka, secara empatik Eliade mendukung kata-kata yang terkenal dari Goethe tentang bahasa, yang seperti  kita ketahui, telah diadopsi oleh Muller untuk studi agama:”ia yang hanya tahu satu (agama) sama dengan tidak tahu apa-apa”. Tanpa perbandingan, tak akan ada suatu sains yang riil.[18]
Dengan memegang aksioma-aksioma ini, kita sekarang dapat beralih pada unsur-unsur utama dalam program Eliade, meskipun di sini, seperti yang kita temukan dalam  Mark dan Freud, kita perlu bantuan lebih dari satu buku Eliade. Dalam semua tulisannya, Eliade cenderung menyelidiki ide-ide dan pola-pola besar yang sama, namun tak satu pun yang ia tawarkan merupakan suatu jenis pertunjukkan teori besar yang tunggal, seperti yang dilakukan Frazer ataupun Durkheim. Di samping itu, sebagai seorang penulis fiksi, Eliade sering tampak lebih suka dengan cara-cara seorang novelis meski sedang menulis dalam karya-karya ilmiah; ia lebih suka memberikan komentar yang panjang dan berliku-liku ketimbang argument yang singkat dan jelas. Berikut buku-buku Eliade  yang secara berangkaian dapat diteliti:
1.    Konsep Eliade tentang agama. Hal ini paling jelas diuraikan dalam The Sacred and the Profane (1957), mungkin merupakan pengantar singkat yang terbaik tentang teori Eliade yang ditulis untuk pembaca umum.
2.    Pemahaman  Eliade tentang simbolisme dan mitos. Ini diamati dengan baik sekali  dalam Patterns in Comparative Religion (1949), sebuah karya yang merancang agenda bagi sebagian besar karya Eliade belakangan.
3.    Penjelasan Eliade tentang waktu dan sejarah seperti yang dilihat oleh kebudayaan kuno dan modern. Tema-tema ini didiskusikan secara panjang dalam The Myth of the Eternal Return (1949), mungkin merupakan buku Eliade yang paling orisinil dan menantang.[19]

D.    The Sacred and The Profane (Yang Suci dan Yang Biasa)
The Sacred and the profane (1957) adalah sebuah karya pengantar singkat yang menjelaskan bahwa dalam usaha memahami agama, langkah pertama yang harus dilakukan adalah seorang sejarawan agama harus keluar dari peradaban modern dan masuk pada kelompok manusia purba (archaic people). Archaic people adalah orang-orang yang telah hidup pada masa prasejarah atau orang-orang pada masa sekarang yang hidup dalam masyarakat suku dan kebudayaan rakyat pedalaman, tempat-tempat dimana mereka berburu di alam, memancing, dan bertani yang merupakan rutinitas sehari-hari. Apa yang kita temukan di kalangan orang-orang semacam itu adalah sebuah kehidupan yang didasarkan  pada dua bidang yang jelas-jelas berbeda. Bidang yang sakral dan bidang yang profan. Yang profan adalah wilayah urusan setiap hari-hal-hal yang biasa, tak disengaja, dan pada umumnya tidak penting. Yang sakral adalah sebaliknya. Ia adalah wilayah supernatural, hal-hal yang luar biasa, mengesankan, dan penting. Sementara yang profan adalah yang menghilang dan mudah pecah, penuh bayang-bayang, maka yang sakral adalah yang abadi, penuh dengan substansi dan realitas. Yang profan adalah arena urusan manusia, yang dapat berubah-ubah dan sering kacau; yang sakral adalah wilayah keteraturan dan kesempurnaan, rumah para leluhur, pahlawan, dan dewa. Dimanapun kita memandang suku-suku purba, agama dimulai dari pemisahan yang fundamental ini.[20]
Istilah yang sakral dan yang profan adalah ciri umum yang terdapat pada setiap agama. Menurut Brian Morris, kita tidak akan menemukan masyarakat yang tidak mengartikulasikan beberapa gagasan yang sakral dan  yang “ada” (spiritual being).[21] Dengan kata lain, gagasan tentang yang sakral ada dalam  semua masyarakat, dan dikotomi sakral dan profan ini sebetulnya menurut Durkheim merupakan karakteristik utama dan universal dari agama.[22]Eliade pun menyatakan  bahwa pikiran agama secara umum terletak pada dua perbedaan yang tajam antara dua modalitas kesadaran ini. Apakah ia mengambil bentuk tuhan, dewa-dewa, atau mitos para leluhur. Yang sakral mengandung realitas sepenuhnya ketika mengambil  bagian dalam yang sakral.[23]
Dualitas yang sakral dan profan dalam Eliade  awalnya dipengaruhi oleh Rudolf Otto dalam the  Idea of the Holy/Das Heilige (1916). Otto menggunakan konsep yang sakral   ketika dia menulis tentang pengalaman individu yang dramatis ketika berhadapan dengan sesuatu yang suci. Suatu saat dalam hidupnya, banyak orang merasa berhubungan dengan sesuatu yang tidak biasa. Mereka merasa terserap oleh realitas yang sepenuhnya berbeda dari dirinya, sesuatu yang misterius, kuat, dan menyenangkan (mysterium tremendum, mysterium fascinans, majestas, atau ganz andere) sesuatu yang sangat luar biasa, substansial, sublime, dan betul-betul riil. Menurut Otto, itulah pengalaman tentang “yang suci”, sesuatu yang berhubungan dengan yang sakral. Ia menamakannya dengan the numinous (Latin: numen: a spirit, divine being). Ia percaya bahwa numinous ini unik tidak seperti berhadapan dengan sesuatu keindahan lain.[24]
Selanjutnya bagi Eliade, yang sakral tidak cukup hanya diekspresikan secara irasional sebagai  bentuk ketakutan manusia di hadapan yang sosok misterius yang mempesona, agung, menawan dan sepenuhnya berbeda. Yang sakral ada dan dapat dipahami ketika memanifestasikan dirinya sebagai sesuatu yang berbeda dari yang profan. Inilah yang disebut hierophany. Menurutnya:
It could be said that the history of religions-from the most primitive to the most highly developed-is constituted by a great number of hierophanies, by manifestations of sacred realities. From the most elementary hierophany-e.g., manifestation of the sacred in some ordinary object, a stone or tree-to the supreme hierophany (which, for Chritian, is the incarnation of God in Jesus Christ).[25](Dapatlah dikatakan bahwa sejarah agama-agama-dari paling primitive hingga yang paling tinggi perkembangannya-dibentuk oleh sejumlah besar hierophany, oleh manifestasi-manifestasi realitas sakral. Dari hierophany paling dasar-misalnya manifestasi yang sakral dalam beberapa objek keseharian, sebuah batu atau pohon-hingga hierophany yang tertinggi  (yang, bagi orang Kristen misalnya, penjelmaan Tuhan ada dalam diri Yesus Kristus).
            Menurut Eliade, ketika batu dan pohon disakralkan, yang terjadi bukanlah pemujaan batu atau pohon dalam dirinya sendiri. Pohon atau  batu sakral tidak disembah sebagai batu atau pohon. Keduanya disembah karena hierophany,  karena keduanya menunjukkan sesuatu yang tidak lagi batu atau pohon semata, tetapi ia juga menunjukkan yang sakral. Dengan kata lain, ketika batu dan pohon memanifestasikan yang sakral, maka keduanya menjadi sesuatu yang lain, tetapi tanpa menghilangkan sifat batu dan pohon itu, karena secara profan ia tetap berhubungan dengan lingkungan alam sekitarnya. Batu dan pohon sakral itu dilihat dari sudut pandang profan, tetaplah batu dan pohon sebagaimana yang lain. Tetapi bila dilihat dari sudut batu dan pohon yang sakral, realitas keduanya dirubah menjadi supranatural. Keduanya kini menjadi hierophany yang menjadi  manifestasi dari realitas sakral yang melekat dalam dirinya. Karena yang sakral akan senantiasa hadir dalam profanitas dan tidak dapat muncul dengan sendirinya atau muncul di luar realitas. Bukankah sakralitas bisa ada ketika mewujud dalam realitas?[26]
            Apabila kita amati semua agama, maka pada dasarnya semua agama memiliki hierophany, Islam misalnya, sebagai  doktrin ataupun interpretasi kesejarahan kaya akan sakralitas dalam symbol, kaya akan manifestasi sakral dalam realitas, kaya akan hierophany. Setuju  atau tidak, realitas menunjukkan itu. Ka`bah, masjid, aurat, wudlu, mushaf, sunatan, air zamzam, pakaian ihram, safa marwa, kurban, dan seterusnya adalah bentuk hierophany, sakralitas yang termanifestasikan dalam serangkaian symbol yang mewujud  dalam realitas ruang dan waktu tertentu.[27]
            Karenanya lanjut Eliade, bagi manusia religious (dari peradaban primitive hingga modern) realitas tidaklah homogeny, karena di sana di samping terdapat ruang dan waktu yang profan, juga terdapat ruang dan waktu yang sakral. Bahkan bagi manusia religious, alam dan kehidupan ini pun dapat menjadi hierophany dan sakral.[28]
                              
E.     Symbols and Myths (Simbol-simbol dan Mitos)
Menurut Eliade bahasa yang sakral harus ditemukan dalam symbol atau mitos. Simbol berakar pada prinsip-prisnip seperti keserupaan atau analogi. Dalam bidang pengalaman agama beberapa hal dilihat serupa dengan atau mengesankan yang sakral: hal-hal itu memberi  petunjuk pada supernatural. Mitos adalah juga simbolik, tetapi dalam suatu cara yang sedikit  lebih complicated; mitos adalah symbol yang diletakkan dalam bentuk cerita. Sebuah mitos bukan hanya  suatu gambaran atau tanda, ia adalah serangkaian gambaran yang dikemukakan dalam bentuk cerita. Sebuah  mitos bukan  hanya suatu gambaran atau tanda;ia adalah serangkaian gambaran yang dikemukakan dalam bentuk cerita. Ia mengatakan suatu dongeng tentang para dewa, leluhur atau pahlawan, dan dunia supernatural-nya. [29]
Eliade berpendapat bahwa di manapun lokasi yang kita pilih atau dimanapun sejarah yang kita lihat, beberapa symbol, mitos dan ritual yang umum akan terus muncul. Adapun cara symbol bekerja, menurut Eliade, hal pertama  yang harus diperhatikan adalah tentang segala sesuatu yang dapat menjadi satu. Sebagian besar  hal yang merupakan kehidupan setiap hari adalah profan; hal-hal itu saja, tak lebih. Tetapi pada saat yang tepat, segala yang profan dapat diubah menjadi sesuatu  yang lebih darinya-cap atau tanda dari yang bukan profan, tetapi yang sakral.[30]
Di dalam tempat suci yang disebut Kabah, kaum Muslim  memuja sebuah batu hitam. Meskipun hingga hari ini, dalam satu tingkatan, objek itu tetap merupakan sebuah batu, tak ada pengikut Muhammad yang  setia akan memandangnya demikian. Dari saat hierophany-dari saat ketika kaum Muslim melihat sebagai sesuatu yang  disentuh oleh yang sakral-objek yang profan ini telah ditransformasikan; ia tidak lagi sekedar batu tetapi suatu objek yang sakral, dapat dikatakan sebuah paket yang mengesankan, yang di dalamnya memuat yang sakral. Eliade, menyebut pemasukan yang supernatural ke objek-objek yang natural ini dengan “dialektika yang sakral”. Meskipun bentuknya konkret dan terbatas, bahkan mungkin dapat dipindahkan dari suatu tempat ketempat lain, sebuah batu yang sakral dapat-melalui soliditas dan sifatnya yang lain-membawa kepada  mata seorang beriman ciri-ciri yang sakral, yang betul-betul berlawanan dengan keterbatasannya: ia dapat mengesankan, seperti batu suci dari Kabah bagi kaum Muslim, Dzat Tuhan yang tak dapat digerakkan dan di luar perubahan, Sang Pencipta dunia yang bersifat mahakuasa, tak terbatas, dan absolute. Tentu, menurut logika yang umum, suatu kombinasi dari hal-hal yang berlawanan semacam itu mengejutkan kita sebagai sesuatu yang irasional. Eliade menjawab bahwa dalam hal-hal semacam itu, akal manusia tidak dalam tugas transaksi.[31]
Simbol dan mitos memberi daya tarik pada imajinasi, yang sering hidup di atas ide kontradiksi. Keduanya memikat orang sepenuhnya, emosi, kehendak, dan bahkan aspek kepribadian yang bersifat bawah sadar. Dan sebagaimana dalam kepribadian, semua jenis dorongan yang bertubrukan menyatu,  sebagaimana dalam mimpi dan fantasi semua jenis hal-hal yang illogic dapat terjadi, maka di dalam pengalaman keagamaan, hal-hal yang berlawanan seperti yang sakral dan yang profan dapat bertemu. Di dalam suatu ledakan pencarian yang intuitif, imajinasi keagamaan melihat hal-hal yang biasa dan profane sebagai lebih dari keadaannya dan mengubahnya menjadi yang sakral. Yang natural  menjadi yang supernatural.[32]

F.     History and Sacred Time (Sejarah dan Waktu yang Suci)
Eliade mengemukakan suatu tesis yang sangat kuat: bahwa tema yang mendominasi pemikiran semua orang purba adalah dorongan untuk menghapus sejarah-semua sejarah- dan kembali ke tempat di luar waktu ketika  dunia dimulai. Keinginan untuk kembali ke  permulaan, tegas Eliade, adalah kerinduan yang terdalam, keinginan yang paling mendesak dan sepenuh hati di dalam jiwa semua orang-orang purba. Semua tema yang konstan dari ritual dan mitos purba adalah  keinginan “untuk hidup di dunia seperti saat dunia itu datang dari tangan pencipta, bersih, murni, dan kuat.”[33]
Inilah mengapa, seperti mitos tentang penciptaan memakai peran yang begitu penting dalam begitu  banyak masyarakat purba. Juga mengapa begitu banyak ritual terkait dengan tindakan penciptaan. Sejauh ini, kita belum banyak berbicara tentang ritual, tetapi Eliade telah merasakannya penting terutama di dalam kaitannya dengan keterangan penciptaan. Biasanya ritual-ritual itu melibatkan  suatu pemeranan kembali tentang  apa yang dilakukan  para dewa dalam in illon tempore (kata Latin untuk “di dalam waktu”), pada saat ketika dunia diciptakan. Setiap perayaan tahun baru, setiap mitos tentang kelahiran kembali atau reintegrasi, setiap situs inisiasi adalah sesuatu yang kembali ke permulaan, sebuah kesempatan untuk memulai dunia sekali lagi. Di dalam  perayaan purba, pada saat tahun baru, ketika pengkambinghitaman dikeluarkan dan penyucian dilakukan untuk membersihkan komunitas dari iblis, penyakit, dan dosa, ini bukan hanya sebuah ritus transit dari satu tahun ke tahun berikutnya, tetapi “juga penghapusan tahun dan masa lalu”. Ia adalah usaha untuk memperoleh kembali-walau sebentar- masa primordial dan mitis, masa yang “murni”, masa “saat” penciptaan. Di India, penobatan mengikuti pola-pola yang ditetapkan  di permulaan dunia. Dan juga  di dalam pengorbanan, ada suatu penghapusan secara implicit terhadap masa yang profan, durasi,”sejarah”.[34]
Dari penjelasan tersebut, nampak sekali bahwa menurut Eliade, sekat antara yang sakral dan profan akan jelas ketika sampai pada deskripsi ruang dan waktu yang sakral. Eliade menunjukan bagaimana ruang dan waktu yang sakral adalah riil, nyata, permanen dan abadi. Sedangkan ruang dan waktu yang profan adalah kebalikan dari yang sakral, yakni labil dan selalu berubah-ubah.
Ide tentang ruang yang sakral menggambarkan bagaimana satu-satunya ruang yang “nyata”, yang dikelilingi oleh medan tanpa bentuk. Ruang yang sakral menjadi kiblat bagi ruang yang lainnya. Ia mendapatkan manusia mendiami sebuah dunia tengah (midland), antara dunia luar yang kacau dan dunia  dalam yang sakral, yang diperbaharui lagi oleh praktik dan ritual yang sakral. Dengan mentasbihkan satu tempat  dalam dunia profan, dunia direkapitulasi dan yang  sakral menjadi  mungkin diakses atau menjelma masuk ke dalam profanitas, sehingga sesuatu yang profan tersebut  menjadi sakral karena hierophany. Ini menjadi sentra dari dunia primitive dan mereka ingin sedekat mungkin ruang ini seperti slogannya “nostalgia akan surga”[35] .

G.    Kesimpulan

Pemikiran Mircea Eliade tentang Agama banyak dipengaruhi oleh hubungannya dengan para pemikir platonis, dan juga penjelajahannya  di India. Dari sinilah kemudian Eliade mulai menemukan sesuatu yang baru tentang kehidupan keberagamaan umat manusia.
Pemikiran Eliade dilandasi  oleh dua aksioma yang penting, yaitu aksioma reduksionisme dan aksioma metode yang terdiri dari sejarah dan fenomenologi, dari dua aksioma inilah kemudian Eliade  mulai meneliti tentang Realitas yang suci, pada masyarakat purba (archaic people), dimana pada masyarakat tersebut terdapat dikotomi antara yang sakral dan yang profan, maka dari sinilah kemudian istilah yang sakral dan profan berkembang. Eliade tidak hanya berhenti dalam konsep sakral dan profan saja, melainkan beliau merumuskan konsep yang lainnya, seperti Symbol dan mitos serta sejarah dan waktu yang suci. Sehingga bisa dikatakan bahwa  Eliade  memandang semua agama pada umumnya memiliki sesuatu yang sakral, baik itu yang bersifat cerita atau mitologi, totem, ataupun benda-benada keramat lainnya yang bisa dikatakan sakral karena di dalamnya terdapat hierophany.









H.     Daftar Pustaka

Brian Morris, Antropologi Agama, Kritik Teori-Teori Agama Kontemporer, terj. Imam Khoiri, (Yogyakarta: AK Group, cet II 2007).
Daniel L. Pals, Seven Theories Of Religion, alih bahasa Ali Noer Zaman, (Yogyakarta: Qalam, 2001).
David Rasmussen,”Mircea Eliade: Structural Hermeneutics and Philosophy,” Philosophy Today 12 (1968).
Guilford Dudley III, Religion on Trial: Mircea Elade`s Phenomenology of Religion and New Directions (The Hagues, Netherlands: Mouton Publishers, 1978)
Jajang Rohmana,”Yang Sakral dan Propan: Agama dalam Pandangan Mircea Eliade (1907-1986)”, Makalah, 2010.
Mac Linscott Ricketts,”In Defense of  Eliade,”Journal of Religion 53 (1973).

Mircea Eliade, Ordeal by Labyrinth: Conversations With Claude Henri Roquet, (Chicago: University of Chicago Press, 1978).
Mircea Eliade, Bengal Night (Chicago: University of Chicago Press, 1993).
Mircea Eliade, Patterns in Comparative Religion, terj. Rosemary Sheed (New York: Meridian Books (1949)  1963).
Mircea Eliade, The Sacred and the Profane: The Nature of Religion, terj. Willard R. Trask (New York: Harcourt, Brace & World (1956) Perancis, 1957)
Nancy Harrowitz, ed., Tainted Greatness: Antisemitism and Cultural Heroes, (Philadelphia: Temple University Press, 1994).
Olson, Theology and Philosophy of Eliade.
Russel T. McCuthceon, “The Myth of the Apolitical Scholar: The Life and Works of Mircea Eliade,” Queen`s Quarterly 100, no. 3 (Fall 1993).
Robert Luyster,”The Study of Myth: Two Approaches,”The Journal of Bibel and Religion 34 (1966).





[1] Disampaikan pada diskusi  program S2 Religious Studies Pascasarjana UIN Sunan Gunung Djati Bandung.
[2] Daniel L. Pals, Seven Theories Of Religion, alih bahasa Ali Noer Zaman, (Yogyakarta: Qalam, 2001), h.VII.
[3] Ibid, h. VIII
[4] Ibid, h.267-268
[5] Ibid
[6] Mircea Eliade, Ordeal by Labyrinth: Conversations With Claude Henri Roquet, (Chicago: University of Chicago Press, 1978), h. 54-56, dalam Daniel L. Pals, Daniel L. Pals, Seven Theories Of Religion, alih bahasa Ali Noer Zaman, (Yogyakarta: Qalam, 2001), h.269
[7] Sejak kematian Eliade, University of Chicago Press telah menerbitkan terjemahan berbahasa Inggris dari Bengal Night dan cerita percintaan dengan kekasihnya yang memunculkan buku tersebut. Lihat Maitreyi Devi, It Does Not Die (Chicago: University of Chicago Press, 1993) dan Mircea Eliade, Bengal Night (Chicago: University of Chicago Press, 1993). Saya sangat berterima kasih kepada Profesor Douglas Allen karena telah memberikan komentarnya yang informative mengenai masalah ini dan juga atas perhatiannya bahwa terjemahan  Inggris sebelumnya dari keterangan Devi yang telah ada sejak tahun 1976. Dalam, Ibid, h.269
[8] Harus dicatat di sini bahwa beberapa kritikus Eliade menganggap bahwa ia lebih aktif dalam politik, dan lebih terlibat dalam Iron Guard, daripada yang selalu ia akui. Bahwa ia jelas-jelas seorang nasionalis Rumania yang keras adalah tak terbantahkan, tetapi tingkat simpatinya akhir-akhir ini merupakan masalah perdebatan yang sengit. Penjelajahan lebih lanjut mengenai kontroversi ini, lihat Ivan Strenski, Four Theories of Myth, hlm. 70-103; Andriana Berger, “Fascism and Religion inade: Romanian Fascism and the History of Religions in the Uninetd States,” dalam Nancy Harrowitz, ed., Tainted Greatness: Antisemitism and Cultural Heroes, (Philadelphia: Temple University Press, 1994), hlm. 51-74; juga Russel T. McCuthceon, “The Myth of the Apolitical Scholar: The Life and Works of Mircea Eliade, “Queen`s Quarterly 100, no. 3 (Fall 1993): 642-63. Saya berterima kasih kepada Douglas Allen karena telah memberitahu saya tentang artikel-artikel Berger dan McCutheon, dalam ibid, 269.
[9] Eliade, Ordeal, hlm. 162-63. Sayang, persahabatan dengan Jung juga telah menjadi sumber kebingungan para mahasiswa menyangkut karya Eliade, terutama karena bersifat  kebetulan. Karena konsep “tipe-tipe dasar (archetipes)” sangat diperhitungkan dalam teori-teori Jung dan Eliade juga menggunakan istilah ini dalam beberapa tulisannya, maka dapat mudah diduga bahwa Eliade meminjam istilah  dan konsep  itu dari Jung. Tetapi Eliade tidak melakukannya, dan apa yang dimaksud dengan “archetype” adalah sesuatu yang berbeda dari yang dimaksudkan oleh Jung. Tentang hal ini, lihat Ordeal, hlm. 164, The Eternal Return: Or, Cosmos and History (New York: Harper Torch Books (1949), hlm. Xiv-xv., dalam Ibid 270
[10] Olson, Theology and Philosophy of Eliade, hlm. 6, dalam Ibid.
[11] Eliade, Ordeal, hlm. 105, dalam Ibid h.271
[12] Eliade, Ordeal, hlm. 98, dalam Ibid
[13] Ibid
[14] Reduksionisme dapat berarti (a) suatu pendekatan untuk memahami sifat dari hal-hal yang kompleks dengan  mengurangi interaksinya ke bagian-bagiannya, agar lebih sederhana dan mendasar; (b) suatu posisi filosofis bahwa suatu system yang kompleks tidak lain adalah sekumpulan bagian-bagian, dab bahwa kumpulan itu dapat direduksi kepada masing-masing bagian. www.wikipedia.org.
[15] Daniel L. Pals, Op. Cit, h.271
[16] Mircea Eliade, Patterns in Comparative Religion, terj. Rosemary Sheed (New York: Meridian Books (1949)  1963), h. xiii, dalam Ibid.
[17] Daniel L. Pals, Op. Cit, h. 271-272
[18] Studi-studi yang penting mengenai metode interpretative Eliade dapat dilihat dalam Robert Luyster,”The Study of Myth: Two Approaches,”The Journal of Bibel and Religion 34 (1966): 235-43; David Rasmussen,”Mircea Eliade: Structural Hermeneutics and Philosophy,” Philosophy Today 12 (1968): 138-46; Mac Linscott Ricketts,”In Defense of  Eliade,”Journal of Religion 53 (1973): 13-34; dan Guilford Dudley III, Religion on Trial: Mircea Elade`s Phenomenology of Religion and New Directions (The Hagues, Netherlands: Mouton Publishers, 1978), dalam Ibid, h.272
[19] Ibid, h. 273-274
[20] Pengantar yang terbaik mengenai Eliade tentang perbedaan ini seperti yang diterapkan oleh orang-orang purba dapat ditemukan dalam dua bab pertama dari The Sacred and the Profane: The Nature of Religion, terj. Willard R. Trask (New York: Harcourt, Brace & World (1956) Prancis, 1957), hlm. 8-113, dalam Daniels L. Pals, h. 274-275.
[21] Brian Morris, Antropologi Agama, Kritik Teori-Teori Agama Kontemporer, terj. Imam Khoiri, (Yogyakarta: AK Group, cet II 2007), h.v
[22] Dalam teori Durkheim, yang sacral  mewakili berbagai kepentingan kelompok, terutama kesatuan yang diwujudkan dalam symbol kelompok tertentu yang disucikan atau totem. Sementara yang profan meliputi  perhatian individu yang bersiafat duniawi. Durkheim secara eksplisit menegaskan bahwa dikotomi   yang sacral dan yang profan tidak sama dengan kebaikan/kejahatan. Yang sacral bisa saja baik atau jahat, demikian juga yang profan. www.wikipedia. Com.
[23] Mircea Eliade, Patterns in Comparative Religion, h. 1
[24] Mircea eliade, The Sacred & The Profan, h. 11
[25] Ibid, h. 20
[26] Jajang Rohmana,”Yang Sakral dan Propan: Agama dalam Pandangan Mircea Eliade (1907-1986)”, Makalah, 2010, h.7
[27] Ibid
[28] Mircea Eliade, Op. Cit, h. 20
[29] Beberapa karya Eliade yang lebih terkenal, yang menganalisis simbolisme tetapi di sini kita tidak memiliki ruang untuk membahasnya adalah, Images and Symbols: Studies in Religious Symbolism, terj. Philip Mairet (New York: sheed and Ward, (1952 Prancis) 1969); Myth, Dreams, and Mysteries, terj. Philip Mairet (New York: Harper Colophon Books, (1957 Prancis), 1975); The Two and the one, ter., J.M. Cohen (Chicago: University of Chicago Press, (1962 Prancis), 1965). Ada juga pembahasan yang panjang mengenai simbolisme di dalam Shamanism: Archaic Techniques of Ecstacy, ter. Willard R. Trask (New York: Bollingen Foundation, (1951 Perancis), 1974). Dalam  Daniels L. Pals, Op. cit, h.284-285.
[30] Daniels L. Pals, Ibid, h. 286
[31] Eliade tidak menunjukkan hal ini di dalam Patterns sebanyak dalam yang lain, di dalam karya-karya belakangan, lihat khususnya Images and Symbols, hlm.12-21. Menarik, buku ini dan yang lain, yang  secara eksplisit berbicara secara simbolisme dan dimensi-dimensi kepribadian di bawah atau di luar akal, yang mungkin merupakan sesuatu yang mendorongnya untuk masuk dalam arah ini, dalam Daniels L. Pals, Ibid, h.286-287
[32] Daniels L. Pals, ibid
[33]  Ibid, h. 303
[34] Ibid, 304
[35] Ibid, h. 302

2 komentar: